"sekarang kau bukan istriku lagi"
Kisah ini di ambil dari fragmen nyata dari seorang ulama terkemuka di daerah Jawa barat. Di ceritakan seorang kyai yang sudah mapan dan matang akan segala hal, usia, ilmu maupun materi hidupnya. Kala suatu hari sang ulama mendapati undangan untuk mengisi acara tabligh di salah satu daerah di mana daerah tsb jaraknya jauh dan berbeda kota dengan tempat kelahirannya. Singkat kata beliau berangkat memenuhi undangan tabligh itu dengan memakan waktu berjam – jam. Dan akhirnya sang ulama sampai ke tempat tujuan dengan di temani dua orang santrinya. Sesampai di tempat acara tabligh, beliau langsung naik ke podium dan langsung berceramah sebagai mana tugasnya seorang mubaligh. Para mustamiin terhanyut mendengar isi ceramah sang mubalig, sampai – sampai waktu pun tak terasa mereka lewati selama dua jam setengah. Beres dari ceramah sang ulama turun podium dan langsung menuju rumah sohibul bait atau yang punya acara. Mungkin untuk sebagian para mubaligh sehabis ceramah suka mengadakan acara ramah tamah di rumah yang punya acara, tapi terkadang hal itu di lakukan bersama para mustamiin yang menghadiri acara tabligh. Singkat cerita di tengah -tengah bersantap ria dengan sejumlah keluarga yang punya acara dan sebagian mustamiin, terlontar sebuah pertanyaan yang agak nyeleneh mungkin, yang pasti pertanyaan itu tertuju bagi sang ulama, pertanyaan itu datangnya dari seorang ibu – ibu yang usianya sudah tidak muda lagi. Isi dari pertanyaan tersebut mengenai latar belakang keluarga ulama itu sendiri, kedengaranya memang kurang etis, tapi mungkin pertanyaan Ibu tadi berniat hanya ingin menghangatkan suasana kekelurgaan lewat obrolan, mungkin hanya sebuah basa – basi yang wajar menurutnya. Al-hasil sang ulama menjawab pertanyaan tsb dengan jelas dan penuh kewibawaan, namun apa yang terjadi setelah jawaban terlontar dari ulama besar, seketika sang ibu terkejut atas apa yang ia dengar, dan dengan percaya diri ibu itu langsung membalas jawaban sang ulama yang isinya bahwa ulama pernah tinggal di daerah ini (tempat acara tablighan) sewaktu usia satu tahun lebih, sejatinya ulama itu pernah di susui oleh seorang ibu – ibu yang sudah meninggal, yang pasti orang itu adalah masih tetangganya Ibu si penanya. Dan apa boleh dikata reaksi sang ulama kali ini lebih terkejut jika di banding dengan reaksi tadi si ibu. Saking terkejutnya Ulama itu memuntahkan perkataan tasbih, dan istigfar, beliau ulama mungkin sudah kecolongan atas kehidupan yang terjadi dengan keluarganya itu, bagaimana tidak dia(ulama) telah salah dalam melakukan perkawinan dengan istrinya itu. Alasan ulama kenapa dia telah salah menikahi anak orang adalah sesuatu yang amat sangat memilukan, bagaimanapun pernikahan subhat telah terjadi terhadapnya. Seketika susana acara ramah tamah menjadi hening, orang – orang yang ada dalam rumah empunya hajat termengu dan terdiam seribu bahasa mendengar perkataan lanjutan sang ulama, bahwa dia telah menikah dengan seorang wanita yang sumber asi di masa kecilnya sama, berarti istrinya ulama masih tergolong saudara walaupun beda ayah dan ibu karena sumber asinya sama, dan dia pernah di susui oleh ibu istrinya itu atau dengan kata lain ibu mertua, sehingga menurut fiqih haram untuk di nikahi karena secara hakekatnya masih termasuk saudara dan sama darah dagingnya. Tandas dalam ilmu fiqih lagi jika perkawinan terjadi maka hukumnya subhat/kesalahan, kalau sebelum menikah kedua mempelai tsb tidak tahu, tapi jika sebelumnya sudah tahu asal usul latar belakang kedua mempelai maka hukumnya haram. Mungkin begitulah untaian kata yang di lontarkan sang ulama. Singkat cerita Ulama itu pulang di temani dua santrinya sambil membawa segudang perasaan galau, karena dia seorang ulama besar yang taat akan hukum ternyata saat ini dia harus menghadapi hukum itu sendiri yang putih atau hitam hasilnya, dia harus tetap menjalankannya sampai kapan pun di manapun dia berada. Sesampai di rumah dengan masih memikul beban yang amat sangat berat, ulama itu mencoba menenangkan dirinya dan bersiap – siap menceritakan, menjelaskan atas apa situasi yang telah di dapatinya sehabis tabligh. Lantas agar tidak melukai perasaan seisi rumah beliau mencoba berbicara arif kepada istri dan anak – anaknya itu. Setelah menjelaskan atas apa yang ia alami, keputusan final pun membuahkan hasil, mau tidak mau suka atau tidak sang istri harus lepas status istrinya dari sang ulama, dan tidak terkecuali dengan status buah dari cinta hidupnya sang ulama, yaitu anak – anak beliau sekarang menjadi anak subhat, tapi tanggungan hidup sampai menikahnya nanti sang ulama masih berperan sebagai ayah menurut fiqih. Walau memang hal ini menyakitkan dan secara logika tak bermanusiawi, namun semua kelaurga sang ulama mengerti dan mematuhinya dengan ikhlas. Akhirnya sebuah keluarga yang sudah di bina sejak lama harus berhenti di persimpangan jalan kehidupan. Mungkin jika di gambarkan ungkapan sang ulama terhadap istrinya”sekarang kau bukan istriku lagi”.kisah ini ada di wahyu eljawahir's blog
Fadilah Puasa Arafah
Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 bulan Dzulhijah pada kalender Islam Qamariyah/Hijriyah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi kaum Muslimin yang tidak menjalankan ibadah haji.
Kesunnahan puasa Arafah tidak didasarkan adanya wukuf di Arafah oleh jamaah haji, tetapi karena datangnya hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Maka bisa jadi hari Arafah di Indonesia tidak sama dengan di Saudi Arabia yang hanya berlainan waktu 4-5 jam. Ini tentu berbeda dengan kelompok umat Islam yang menghendaki adanya ‘rukyat global’, atau kelompok yang ingin mendirikan khilafah islamiyah, dimana penanggalan Islam disamaratakan seluruh dunia, dan Saudi Arabia menjadi acuan utamanya.
Keinginan menyamaratakan penanggalan Islam itu sangat bagus dalam rangka menyatukan hari raya umat Islam, namun menurut ahli falak, keinginan ini tidak sesuai dengan kehendak alam atau prinsip-prinsip keilmuan. Rukyatul hilal atau observasi bulan sabit yang dilakukan untuk menentukan awal bulan Qamariyah atau Hijriyah berlaku secara nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri masing-masing dan berlaku satu wilayah hukum. Ini juga berdasarkan petunjuk Nabi Muhammad SAW sendiri. (Lebih lanjut tentang hal ini silakan klik di rubrik Syari’ah dan Iptek)
Penentuan hari arafah itu juga ditegaskan dalam Bahtsul Masa’il Diniyah Maudluiyyah pada Muktamar Nahdlatul Ulama XXX di Pondok Pesantren Lirboyo, akhir 1999. Ditegaskan bahwa yaumu arafah atau hari Arafah yaitu tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan kalender negara setempat yang berdasarkan pada rukyatul hilal.
Adapun tentang fadhilah atau keutamaan berpuasa hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah didasarkan pada hadits berikut ini:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً وَصَوْمُ عَاشُوْرَاَء يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً
Puasa hari Arafah menebus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang dan puasa Asyura (10 Muharram) menebus dosa setahun yang telah lewat. (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abi Qotadah)
Para ulama menambahkan adanya kesunnahan puasa Tarwiyah yang dilaksanakan pada hari Tarwiyah, yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits lain, bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan bahwa hadits ini dloif (tidak kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Selain itu, memang pada hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa untuk menjalankan ibadah seperti puasa. Abnu Abbas RA meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:
مَا مِنْ أيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِيْ أَياَّمُ اْلعُشْرِ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهُ فَلَمْ يَرْجِعُ مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ
Diriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulallah, walaupun jihad di jalan Allah? Rasulullah bersabda: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya atau menjadi syahid. (HR Bukhari)
Puasa Arafah dan Tarwiyah sangat dianjurkan bagi yang tidak menjalankan ibadah haji di tanah suci. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa Ramadhan.
Bagi kaum Muslimin yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan juga disarankan untuk mengerjakannya pada hari Arafah ini, atau hari-hari lain yang disunnahkan untuk berpuasa. Maka ia akan mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni pahala puasa wajib (qadha puasa Ramadhan) dan pahala puasa sunnah. Demikian ini seperti pernah dibahas dalam Muktamar NU X di Surakarta tahun 1935, dengan mengutip fatwa dari kitab Fatawa al-Kubra pada bab tentang puasa:
يُعْلَمُ أَنَّ اْلأَفْضَلَ لِمُرِيْدِ التََطَوُّعِ أَنْ يَنْوِيَ اْلوَاجِبَ إِنْ كَانَ عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالتَّطَوُّعِ لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ
Diketahui bahwa bagi orang yang ingin berniat puasa sunnah, lebih baik ia juga berniat melakukan puasa wajib jika memang ia mempunyai tanggungan puasa, tapi jika ia tidak mempunyai tanggungan (atau jika ia ragu-ragu apakah punya tanggungan atau tidak) ia cukup berniat puasa sunnah saja, maka ia akan memperoleh apa yang diniatkannya.
Sumber : NU Online
Kesunnahan puasa Arafah tidak didasarkan adanya wukuf di Arafah oleh jamaah haji, tetapi karena datangnya hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Maka bisa jadi hari Arafah di Indonesia tidak sama dengan di Saudi Arabia yang hanya berlainan waktu 4-5 jam. Ini tentu berbeda dengan kelompok umat Islam yang menghendaki adanya ‘rukyat global’, atau kelompok yang ingin mendirikan khilafah islamiyah, dimana penanggalan Islam disamaratakan seluruh dunia, dan Saudi Arabia menjadi acuan utamanya.
Keinginan menyamaratakan penanggalan Islam itu sangat bagus dalam rangka menyatukan hari raya umat Islam, namun menurut ahli falak, keinginan ini tidak sesuai dengan kehendak alam atau prinsip-prinsip keilmuan. Rukyatul hilal atau observasi bulan sabit yang dilakukan untuk menentukan awal bulan Qamariyah atau Hijriyah berlaku secara nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri masing-masing dan berlaku satu wilayah hukum. Ini juga berdasarkan petunjuk Nabi Muhammad SAW sendiri. (Lebih lanjut tentang hal ini silakan klik di rubrik Syari’ah dan Iptek)
Penentuan hari arafah itu juga ditegaskan dalam Bahtsul Masa’il Diniyah Maudluiyyah pada Muktamar Nahdlatul Ulama XXX di Pondok Pesantren Lirboyo, akhir 1999. Ditegaskan bahwa yaumu arafah atau hari Arafah yaitu tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan kalender negara setempat yang berdasarkan pada rukyatul hilal.
Adapun tentang fadhilah atau keutamaan berpuasa hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah didasarkan pada hadits berikut ini:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً وَصَوْمُ عَاشُوْرَاَء يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً
Puasa hari Arafah menebus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang dan puasa Asyura (10 Muharram) menebus dosa setahun yang telah lewat. (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abi Qotadah)
Para ulama menambahkan adanya kesunnahan puasa Tarwiyah yang dilaksanakan pada hari Tarwiyah, yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits lain, bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan bahwa hadits ini dloif (tidak kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Selain itu, memang pada hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa untuk menjalankan ibadah seperti puasa. Abnu Abbas RA meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:
مَا مِنْ أيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِيْ أَياَّمُ اْلعُشْرِ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهُ فَلَمْ يَرْجِعُ مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ
Diriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulallah, walaupun jihad di jalan Allah? Rasulullah bersabda: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya atau menjadi syahid. (HR Bukhari)
Puasa Arafah dan Tarwiyah sangat dianjurkan bagi yang tidak menjalankan ibadah haji di tanah suci. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa Ramadhan.
Bagi kaum Muslimin yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan juga disarankan untuk mengerjakannya pada hari Arafah ini, atau hari-hari lain yang disunnahkan untuk berpuasa. Maka ia akan mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni pahala puasa wajib (qadha puasa Ramadhan) dan pahala puasa sunnah. Demikian ini seperti pernah dibahas dalam Muktamar NU X di Surakarta tahun 1935, dengan mengutip fatwa dari kitab Fatawa al-Kubra pada bab tentang puasa:
يُعْلَمُ أَنَّ اْلأَفْضَلَ لِمُرِيْدِ التََطَوُّعِ أَنْ يَنْوِيَ اْلوَاجِبَ إِنْ كَانَ عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالتَّطَوُّعِ لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ
Diketahui bahwa bagi orang yang ingin berniat puasa sunnah, lebih baik ia juga berniat melakukan puasa wajib jika memang ia mempunyai tanggungan puasa, tapi jika ia tidak mempunyai tanggungan (atau jika ia ragu-ragu apakah punya tanggungan atau tidak) ia cukup berniat puasa sunnah saja, maka ia akan memperoleh apa yang diniatkannya.
Sumber : NU Online
"pro-kontra parfum beralkohol"
Kini tengah seru perdebatan tentang hukum mempergunakan parfum beralkohol di Mesir. Pasalnya, Mufti Besar Mesir Syaikh Ali Jum`ah menerbitkan buku berjudul `Fatawa Albaytil Muslim` (fatwa-fatwa keluarga muslim) yang menyatakan bahwa mempergunakan parfum beralkohol, boleh.
Dr. Abdul Fatttah Idris, kepala jurusan fikih perbandingan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang juga anggota kajian fikih Rabithah Alam Islami di Mekah, menentangnya. Sebab, menurut Idris, alkohol adalah bahan untuk minuman keras dan minuman keras adalah najis.
"Tidak boleh secara syara` mempergunakan minyak wangi atau au de toilet yang mengandung alkohol. Sebab, alkohol menjadi bahan utama parfum bahkan mencapai 90% dari komponen," katanya, sepertu dikutip harian Assharqul Awsath edisi 9 Juni lalu. "Jadi tidak betul jika dalam parfum tersebut dominan komponen air. Sementara parfum mengandum alkohol yang menjadi bahan utama khamar. Khamar, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran, ia disebut rijz yang najis. Yang menentukan alkohol itu najis bukan keharamannya, tapi sudah dijelaskan Al-Quran," kata Syaikh Fattah.
Sementara dalam uraian Syaikh Ali Jum`ah, alkohol tidak najis. Khamar meskipun haram diminum tapi ia tidak najis. "Segala sesuatu, asalnya adalah suci. Dan tidak harus sesuatu yang diharamkan itu najis. Karena penajisan sesuatu harus ada dalil tersendiri (mustaqil). Ulama besar seperti Rabi`ah, Allayts bin Sa`ad, ulama mutakhir Bagdad menyatakan meskipun khamar diharamkan tapi ia tetap suci. Yang diharamkan itu meminumnya."
Diakui Jum`ah, bahwa pendapat ini berbeda dengan pendapat jumhur, sebagian besar ulama yang menyatakan bahwa sesuatu yang haram adalah najis. Tapi, kata Jum`ah, parfum itu tak seluruhnya alkohol, ada komponen lain yang dicampurkan. "Karena itu parfum boleh dipakai dan tidak berpengaruh pada batalnya wudlu."
Pendapat Jum`ah didukung Dr. Ahmad Abdurrahim Sayih, Guru besar Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. "Boleh mempergunakan parfum beralkohol karena bukan untuk tujuan dimunum dan dimakan. Parfum `kan hanya dimanfaatkan baunya. Terlebih, alkohol meski biasa dijadikan bahan utama khamar, tapi, zat diri alkohol itu tetap suci."
"oleh nurul haq"
Dr. Abdul Fatttah Idris, kepala jurusan fikih perbandingan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang juga anggota kajian fikih Rabithah Alam Islami di Mekah, menentangnya. Sebab, menurut Idris, alkohol adalah bahan untuk minuman keras dan minuman keras adalah najis.
"Tidak boleh secara syara` mempergunakan minyak wangi atau au de toilet yang mengandung alkohol. Sebab, alkohol menjadi bahan utama parfum bahkan mencapai 90% dari komponen," katanya, sepertu dikutip harian Assharqul Awsath edisi 9 Juni lalu. "Jadi tidak betul jika dalam parfum tersebut dominan komponen air. Sementara parfum mengandum alkohol yang menjadi bahan utama khamar. Khamar, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran, ia disebut rijz yang najis. Yang menentukan alkohol itu najis bukan keharamannya, tapi sudah dijelaskan Al-Quran," kata Syaikh Fattah.
Sementara dalam uraian Syaikh Ali Jum`ah, alkohol tidak najis. Khamar meskipun haram diminum tapi ia tidak najis. "Segala sesuatu, asalnya adalah suci. Dan tidak harus sesuatu yang diharamkan itu najis. Karena penajisan sesuatu harus ada dalil tersendiri (mustaqil). Ulama besar seperti Rabi`ah, Allayts bin Sa`ad, ulama mutakhir Bagdad menyatakan meskipun khamar diharamkan tapi ia tetap suci. Yang diharamkan itu meminumnya."
Diakui Jum`ah, bahwa pendapat ini berbeda dengan pendapat jumhur, sebagian besar ulama yang menyatakan bahwa sesuatu yang haram adalah najis. Tapi, kata Jum`ah, parfum itu tak seluruhnya alkohol, ada komponen lain yang dicampurkan. "Karena itu parfum boleh dipakai dan tidak berpengaruh pada batalnya wudlu."
Pendapat Jum`ah didukung Dr. Ahmad Abdurrahim Sayih, Guru besar Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. "Boleh mempergunakan parfum beralkohol karena bukan untuk tujuan dimunum dan dimakan. Parfum `kan hanya dimanfaatkan baunya. Terlebih, alkohol meski biasa dijadikan bahan utama khamar, tapi, zat diri alkohol itu tetap suci."
"oleh nurul haq"
Hukum Adopsi/Tabanni
Sudah tidak asing lagi sebagian masyarakat Indonesia maupun dunia pada umumnya melakukan Adopsi. Bermacam alasan bisa di terima untuk melakukan hal demikian, namun terlepas dari itu semua kita sebagai manusia yang beragama tentunya dan mempunyai landasan hukum di dalamnya, harus lah perlu lebih mencermati lagi bagai mana peranan Adopsi secara hukum fiqih.
Kriterianya, jika Salah seorang mengangkat anak orang lain dengan tujuan untuk di perlakukan, di jadikan, diakui sebagi anak sendiri atau dengan kata lain keberadanya anak adopsi tersebut sederajat dalam segi nasab/turunan sendiri dari segi hak waris atau maskawin, maka hukumnya tidak sah, sebagaimana dalam" Khazin, juz VI, hlm 191:
Nabi Saw bersabda: "Barangsiapa mengaku orang lainsebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut memang bukan bapaknya, maka surga di haramkan terhadap dirinya". Qotadah berkata, siapapun tidak boleh mengatakan "Zaid itu putra Muhammad". Jika seseorang demikian itu secara sengaja, maka ia telah maksiat, dan barang siapa mermaksiat kepada ALLah SWT dan rasul-Nya, berarti ia telah sangat sesat.
-kriteria yg kedua jika orang mengadopsi hanya karena kasihan atau ingin meringankan beban ekonomi orang tua anak yg di adopsi tersebut, dan tidak tidak ada niatan untuk di jadikan anak asli, maka hukumnya boleh dan sah, karena termasuk Ta'awun.
Kriterianya, jika Salah seorang mengangkat anak orang lain dengan tujuan untuk di perlakukan, di jadikan, diakui sebagi anak sendiri atau dengan kata lain keberadanya anak adopsi tersebut sederajat dalam segi nasab/turunan sendiri dari segi hak waris atau maskawin, maka hukumnya tidak sah, sebagaimana dalam" Khazin, juz VI, hlm 191:
Nabi Saw bersabda: "Barangsiapa mengaku orang lainsebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut memang bukan bapaknya, maka surga di haramkan terhadap dirinya". Qotadah berkata, siapapun tidak boleh mengatakan "Zaid itu putra Muhammad". Jika seseorang demikian itu secara sengaja, maka ia telah maksiat, dan barang siapa mermaksiat kepada ALLah SWT dan rasul-Nya, berarti ia telah sangat sesat.
-kriteria yg kedua jika orang mengadopsi hanya karena kasihan atau ingin meringankan beban ekonomi orang tua anak yg di adopsi tersebut, dan tidak tidak ada niatan untuk di jadikan anak asli, maka hukumnya boleh dan sah, karena termasuk Ta'awun.
"Bola Mata Mayit Di Ambil"
Dulu ada sebuah fatwa Mesir yang memperbolehkan bola mata mayit di ambil dan di pindahkan kepada orang buta yang masih hidup, fatwa tersebut sebenarnya fiktif dan tidak benar.
Sebab hukum memindahkan bola mata mayit atau selain mata hukumnya haram, walaupun si mayit tersebut orang kafir seperti nasrani, yahudi atau majusi tetap haram menyambung apa pun dari yang sudah mati kepada yang masih hidup, karena kita tahu itu semua akan merusak kehormatan mayit.
Hal di atas sesuai dengan sabda Rasul Saw: "memecahkan tulang orang matiitu sama dengan memecahkan tulangnya ketika masih hidup". HR. Ahmad, dalam musnad dan Ibnu Majah.
Serta hadis riwayat 'Aisyah r.a:"memecahkan tulang orang mati itu sama dengan memecahkan tulangnya ketika masih hidup dalam hal dosanya". HR. Ibnu Majah dari Ummi salamah.
Adapun keterangan lainnya bisa di lihat dalam kitab"Hasyiyah Al-Rasyidi'ala Ibnil Imad,hal 26"
Sebab hukum memindahkan bola mata mayit atau selain mata hukumnya haram, walaupun si mayit tersebut orang kafir seperti nasrani, yahudi atau majusi tetap haram menyambung apa pun dari yang sudah mati kepada yang masih hidup, karena kita tahu itu semua akan merusak kehormatan mayit.
Hal di atas sesuai dengan sabda Rasul Saw: "memecahkan tulang orang matiitu sama dengan memecahkan tulangnya ketika masih hidup". HR. Ahmad, dalam musnad dan Ibnu Majah.
Serta hadis riwayat 'Aisyah r.a:"memecahkan tulang orang mati itu sama dengan memecahkan tulangnya ketika masih hidup dalam hal dosanya". HR. Ibnu Majah dari Ummi salamah.
Adapun keterangan lainnya bisa di lihat dalam kitab"Hasyiyah Al-Rasyidi'ala Ibnil Imad,hal 26"
Dzikir Berjamaah dengan Suara Keras
Berkumpul di suatu tempat untuk berdzikir bersama hukumnya adalah sunnah dan merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hadits-hadits yang menunjukkan kesunnahan perkara ini banyak sekali, diantaranya.
مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني
"Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridla Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian". (HR Ath-Thabrani)
Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum di antaranya adaah hadits qudsi berikut ini. Rasulullah SAW bersabda:
يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي، فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرُا مِنْهُ –منقق عليه
Allah Ta’ala berfirman: Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadapku, dan aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut namaku. Jika ia menyebut namaku dengan lirih Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebutku secara berjamaah atau dengan suara keras maka aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia. (HR Bukhari-Muslim)
Dzikir secara berjamaah juga sangat baik dilakukan setelah shalat. Para ulama menyepakati kesunnahan amalan ini. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW ditanya:
أَيُّ دُعَاءٍ أَسْمَعُ؟
“Apakah Doa yang paling dikabulkan?”
Rasulullah menjawab:
جَوْفُ اللَّيْلِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ – قال الترمذي: حديث حسن
“Doa di tengah malam, dan seusai shalat fardlu." (At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan.
Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjamaah setelah shalat secara khusus, di antaranya hadits Ibnu Abbas berkata:
كُنْتُ أَعْرِفُ إنْقِضَاءِ صَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ – رواه البخاري ومسلم
Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR Bukhari Muslim)
أَنَّ رَفْعَ الصّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ – رواه البخاري ومسلم
Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jamaah selesai shalat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah. (HR Bukhari-Muslim)
Dalam sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim juga, Ibnu Abbas mengatakan:
كنت أعلم إذا انصرفوا بذالك إذا سمعته – رواه البخاري ومسلم
Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat dengan mendengar suara berdikir yang keras itu. (HR Bukhari Muslim)
Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya dan tanpa mengganggu orang lain terutama kekhusuan orang lain dalam beribadah.
"oleh nurul haq"
مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني
"Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridla Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian". (HR Ath-Thabrani)
Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum di antaranya adaah hadits qudsi berikut ini. Rasulullah SAW bersabda:
يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي، فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرُا مِنْهُ –منقق عليه
Allah Ta’ala berfirman: Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadapku, dan aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut namaku. Jika ia menyebut namaku dengan lirih Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebutku secara berjamaah atau dengan suara keras maka aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia. (HR Bukhari-Muslim)
Dzikir secara berjamaah juga sangat baik dilakukan setelah shalat. Para ulama menyepakati kesunnahan amalan ini. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW ditanya:
أَيُّ دُعَاءٍ أَسْمَعُ؟
“Apakah Doa yang paling dikabulkan?”
Rasulullah menjawab:
جَوْفُ اللَّيْلِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ – قال الترمذي: حديث حسن
“Doa di tengah malam, dan seusai shalat fardlu." (At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan.
Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjamaah setelah shalat secara khusus, di antaranya hadits Ibnu Abbas berkata:
كُنْتُ أَعْرِفُ إنْقِضَاءِ صَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ – رواه البخاري ومسلم
Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR Bukhari Muslim)
أَنَّ رَفْعَ الصّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ – رواه البخاري ومسلم
Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jamaah selesai shalat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah. (HR Bukhari-Muslim)
Dalam sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim juga, Ibnu Abbas mengatakan:
كنت أعلم إذا انصرفوا بذالك إذا سمعته – رواه البخاري ومسلم
Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat dengan mendengar suara berdikir yang keras itu. (HR Bukhari Muslim)
Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya dan tanpa mengganggu orang lain terutama kekhusuan orang lain dalam beribadah.
"oleh nurul haq"
"Read surah Ya-sin for those who have died"
There is a perception that people who have died there is no relevance to the people who are still alive. In the tomb of the dead do not need - what else. The perception that it is true because according to Syariat will not be a dead religion who wish to carry out or once the money is.
But it is precisely according to my somewhat narrow a redaction which is, if a child has died and Adam dropped out of all the work world, except for three things namely: 1. Reward charity in the world when he.
2. Reward knowledge that is useful when in the world.
3. Children who are kind and pray that their parents have died of.
All rewards will continue to flow to those who have died. And have a longer expression, why do people still alive who often read Surah ya-sin for the dead.
He said again, if we interpret Surah or paragraph ya-sin told in most of the living. Expression is true, but if we examine further, in fact people who have died not only read on surah Ya-sin, but surah others shall be read to the people who have died.
Then why do people choose Ya-sin, because we already know that with ya-sin Surah is Al-quran heart or often in a QolbulQuran, then if the logic is that in the heart of hearts that there is a special secret.
For an explanation can not read the Ya-sin for those who have died let's see the words of the Prophet Muhammad.SAW following: The Prophet has said, "that you should read surah Ya sin-you to families that have died, this hadist by Abu Daud Nasa'i and friends and Ibnu Haban.
Description of the book Ibanatul Ahkam, 197 page book of the second.
I hope you're satisfied on this redaction and thanks see you later.
Sorry I have made a mistake, not a friend Ibn Haban
that is correct Ibn Haban has explained that hadist
There is a perception that people who have died there is no relevance to the people who are still alive. In the tomb of the dead do not need - what else. The perception that it is true because according to Syariat will not be a dead religion who wish to carry out or once the money is.
But it is precisely according to my somewhat narrow a redaction which is, if a child has died and Adam dropped out of all the work world, except for three things namely: 1. Reward charity in the world when he.
2. Reward knowledge that is useful when in the world.
3. Children who are kind and pray that their parents have died of.
All rewards will continue to flow to those who have died. And have a longer expression, why do people still alive who often read Surah ya-sin for the dead.
He said again, if we interpret Surah or paragraph ya-sin told in most of the living. Expression is true, but if we examine further, in fact people who have died not only read on surah Ya-sin, but surah others shall be read to the people who have died.
Then why do people choose Ya-sin, because we already know that with ya-sin Surah is Al-quran heart or often in a QolbulQuran, then if the logic is that in the heart of hearts that there is a special secret.
For an explanation can not read the Ya-sin for those who have died let's see the words of the Prophet Muhammad.SAW following: The Prophet has said, "that you should read surah Ya sin-you to families that have died, this hadist by Abu Daud Nasa'i and friends and Ibnu Haban.
Description of the book Ibanatul Ahkam, 197 page book of the second.
I hope you're satisfied on this redaction and thanks see you later.
Sorry I have made a mistake, not a friend Ibn Haban
that is correct Ibn Haban has explained that hadist
Langganan:
Postingan (Atom)