"sekarang kau bukan istriku lagi"

Kisah ini di ambil dari fragmen nyata dari seorang ulama terkemuka di daerah Jawa barat. Di ceritakan seorang kyai yang sudah mapan dan matang akan segala hal, usia, ilmu maupun materi hidupnya. Kala suatu hari sang ulama mendapati undangan untuk mengisi acara tabligh di salah satu daerah di mana daerah tsb jaraknya jauh dan berbeda kota dengan tempat kelahirannya. Singkat kata beliau berangkat memenuhi undangan tabligh itu dengan memakan waktu berjam – jam. Dan akhirnya sang ulama sampai ke tempat tujuan dengan di temani dua orang santrinya. Sesampai di tempat acara tabligh, beliau langsung naik ke podium dan langsung berceramah sebagai mana tugasnya seorang mubaligh. Para mustamiin terhanyut mendengar isi ceramah sang mubalig, sampai – sampai waktu pun tak terasa mereka lewati selama dua jam setengah. Beres dari ceramah sang ulama turun podium dan langsung menuju rumah sohibul bait atau yang punya acara. Mungkin untuk sebagian para mubaligh sehabis ceramah suka mengadakan acara ramah tamah di rumah yang punya acara, tapi terkadang hal itu di lakukan bersama para mustamiin yang menghadiri acara tabligh. Singkat cerita di tengah -tengah bersantap ria dengan sejumlah keluarga yang punya acara dan sebagian mustamiin, terlontar sebuah pertanyaan yang agak nyeleneh mungkin, yang pasti pertanyaan itu tertuju bagi sang ulama, pertanyaan itu datangnya dari seorang ibu – ibu yang usianya sudah tidak muda lagi. Isi dari pertanyaan tersebut mengenai latar belakang keluarga ulama itu sendiri, kedengaranya memang kurang etis, tapi mungkin pertanyaan Ibu tadi berniat hanya ingin menghangatkan suasana kekelurgaan lewat obrolan, mungkin hanya sebuah basa – basi yang wajar menurutnya. Al-hasil sang ulama menjawab pertanyaan tsb dengan jelas dan penuh kewibawaan, namun apa yang terjadi setelah jawaban terlontar dari ulama besar, seketika sang ibu terkejut atas apa yang ia dengar, dan dengan percaya diri ibu itu langsung membalas jawaban sang ulama yang isinya bahwa ulama pernah tinggal di daerah ini (tempat acara tablighan) sewaktu usia satu tahun lebih, sejatinya ulama itu pernah di susui oleh seorang ibu – ibu yang sudah meninggal, yang pasti orang itu adalah masih tetangganya Ibu si penanya. Dan apa boleh dikata reaksi sang ulama kali ini lebih terkejut jika di banding dengan reaksi tadi si ibu. Saking terkejutnya Ulama itu memuntahkan perkataan tasbih, dan istigfar, beliau ulama mungkin sudah kecolongan atas kehidupan yang terjadi dengan keluarganya itu, bagaimana tidak dia(ulama) telah salah dalam melakukan perkawinan dengan istrinya itu. Alasan ulama kenapa dia telah salah menikahi anak orang adalah sesuatu yang amat sangat memilukan, bagaimanapun pernikahan subhat telah terjadi terhadapnya. Seketika susana acara ramah tamah menjadi hening, orang – orang yang ada dalam rumah empunya hajat termengu dan terdiam seribu bahasa mendengar perkataan lanjutan sang ulama, bahwa dia telah menikah dengan seorang wanita yang sumber asi di masa kecilnya sama, berarti istrinya ulama masih tergolong saudara walaupun beda ayah dan ibu karena sumber asinya sama, dan dia pernah di susui oleh ibu istrinya itu atau dengan kata lain ibu mertua, sehingga menurut fiqih haram untuk di nikahi karena secara hakekatnya masih termasuk saudara dan sama darah dagingnya. Tandas dalam ilmu fiqih lagi jika perkawinan terjadi maka hukumnya subhat/kesalahan, kalau sebelum menikah kedua mempelai tsb tidak tahu, tapi jika sebelumnya sudah tahu asal usul latar belakang kedua mempelai maka hukumnya haram. Mungkin begitulah untaian kata yang di lontarkan sang ulama. Singkat cerita Ulama itu pulang di temani dua santrinya sambil membawa segudang perasaan galau, karena dia seorang ulama besar yang taat akan hukum ternyata saat ini dia harus menghadapi hukum itu sendiri yang putih atau hitam hasilnya, dia harus tetap menjalankannya sampai kapan pun di manapun dia berada. Sesampai di rumah dengan masih memikul beban yang amat sangat berat, ulama itu mencoba menenangkan dirinya dan bersiap – siap menceritakan, menjelaskan atas apa situasi yang telah di dapatinya sehabis tabligh. Lantas agar tidak melukai perasaan seisi rumah beliau mencoba berbicara arif kepada istri dan anak – anaknya itu. Setelah menjelaskan atas apa yang ia alami, keputusan final pun membuahkan hasil, mau tidak mau suka atau tidak sang istri harus lepas status istrinya dari sang ulama, dan tidak terkecuali dengan status buah dari cinta hidupnya sang ulama, yaitu anak – anak beliau sekarang menjadi anak subhat, tapi tanggungan hidup sampai menikahnya nanti sang ulama masih berperan sebagai ayah menurut fiqih. Walau memang hal ini menyakitkan dan secara logika tak bermanusiawi, namun semua kelaurga sang ulama mengerti dan mematuhinya dengan ikhlas. Akhirnya sebuah keluarga yang sudah di bina sejak lama harus berhenti di persimpangan jalan kehidupan. Mungkin jika di gambarkan ungkapan sang ulama terhadap istrinya”sekarang kau bukan istriku lagi”.kisah ini ada di wahyu eljawahir's blog